Selasa, 13 Januari 2015
GERAKAN SEBUAH PROSES
Berbicara masalah “gerakan” ada beberapa aspek yang dapat saya pahami. Kata “gerak” disini melalui kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti peralihan dari satu tempat ke tempat yang lain baik hanya sekali maupun berkali-kali. Dari perspektif yang lain memaknai “gerak” adalah sebuah tekanan atau adanya magnat dari tempat lain sehingga mampu pindah dari tempat asal. Namun dalam ilmu filsafat “gerak” diartikan sebagai suatu perubahab, dengan demikian Mulla sadra menegaskan “gerak” dapat berubah jika memenuhi 2 syarat berikut: pertama, perubahan itu tidak boleh tiba-tiba tetapi harus gradual, juga perubahan itu harus mempunyai ekstensi temporal walaupun hanya sesaat saja. Kedua, perubahan itu harus mempunyai ekstensi yang dapat dibagi secara tak terbatas, bukan kumpulan atom-atom yang tidak dapat dibagi.
“Gerak” kemudian bisa di lakukan secara spontan dan juga pelan-pelan, yang dalam orientasinya kebanyakan terjadi gerakan tersebut di aplikasikan dalam bentuk organisasi, yang layaknya lebih episien ketika memutuskan suatu perkara atau masalah. Gerakan yang kita maksud tepatnya lebih pada sebuah kelompok atau organisasi, bagaimana kemudian hal tersebut bisa di laksanakan dengan baik maka tentunya ada beberapa hal juga yang harus kita perhatikan sebab hal ini di batasi oleh kemampuan jiwa kita sebagai khalifah fi al-ardhi. Istilah lainnya seorang yang mempunyai tanggung jawab atas rakyat, masyarakat, anggota nya seyogyanya juga bisa bertanggung jawab pada yang lainnya, namun perlu juga di garis bawahi tidak semudah itu kita sewanang-wenag kemudian akan menguasai atas semuanya.
Artinya ketika kita masuk dalam sebuah pergerakan, disitu kita akan berproses bagaimana hidup yang sesungguhnya sebagaimana saya jelaskan di atas. Pengemban suatu amanah memang berat, tapi jika hal tersebut kita lestarikan atau kita niatkan bukan untuk tanggung jawab atau sedang mengemban amanah maka ada kemungkinan jauh kita rasakan sebuah kesengsaraan, kesulitan, dan lain-lain.
Memang ada kalanya gerakan, kita kira semudah yang kita bayangkan akan tetapi hal tersebut jauh berbeda dengan hanya sekedar perkiraan. Sebab melihat profesi dari setiap jiwa tidak semuanya masuk dalam satu kelompok dan tentunya hal itu bisa di maklumi kalau setiap orang akan bergerak dimana ia mau. Jika proses yang mereka benar-benar lihat maka tidak akan ada yang namanya kesenjangan di antara mereka, karena ranah dari setiap individu akan berbeda ketika berjauhan, dan ini akan terbukti bilamana kita mengaplikasikannya. Semoga bermanfaat, amien**
jogja, 13 januari 2015 m
Sabtu, 16 Agustus 2014
MENULIS PERSPEKTIF FILSAFAT
Berfikir, maka aku ada. Ini adalah
ungkapan sederhana yang ada pada system filsafat sendiri. Adapun definisi
menulis adalah suatu hal pokok yang seharusnya dimiliki oleh seseorang khususnya
mereka mahasiswa, sebab dibandingkan dibidang keilmuannya lebih mewadahi dari
yang lainnya, disisi lain mahasiswa yaitu seorang mencari pengetahuan yang
selebihnya bisa membagi pengalamannya ataupun ilmu-ilmu yang mereka dapatkan
kepada sesama yang lainnya.
Hubungan antara menulis dan filsafat sangat erat, yang mana filsafat
mengajarkan kita untuk selalu berfikir yang kemudian hasil dari pemikiran
tersebut dituangkan dalam bentuk tulisan. Maka dari itu, kita sebagai mahasiswa
berkawajiban untuk membagi pengalaman ilmu itu terhadap orang lain baik melalui
media massa ataupun blog. Akan tetapi jika kita mengarah pada eksistensi kita
sebagai mahasiswa hendaknya dalam membagi suatu pengetahuan tersebut tidak akan
peduli terhadap yang namanya ongkos, penghargaan dan lain-lain.
Namun kemudian jika hal yang seperti itu akan terjadi, maka yang
terpenting dalam menjalani hidup yaitu mengerti akan satu dan yang lainnya, artinya
kita sebagai mahasiswa/penuntut ilmu memberikan ilmu itu dengan ikhlas tanpa
mengharap imbalan ataupun survries dari orang lain.
Sebagaimana kita tahu menulis dengan tujuan memberi/berbagi
pengalaman untuk meningkatkan kualitas pengetahuan yang ada di muka bumi ini.
Jadi secara otomatis hal yang demikian tidak hanya terfokus dimiliki oleh
seorang mahasiswa, akan tetapi kita sebagai makhluk Allah juga berkewajiban
untuk mencari dan memikirkan semua ilmu-ilmu-Nya yang kemudian juga menjadi kewajiban
untuk mengamalkannya. Semoga bisa*
Kamis, 03 Juli 2014
Celurit itu Seharusnya Bukan Milikku
Cerpen Mawaidi
D. Mas
/1/
Sudah 5 tahun, Laili. Kamu tak
menginjakkan kaki di tanahmu yang putih, di desamu yang hijau, di halaman
rumahmu yang ditumbuhi bunga-bunga dandelion dan pohon cemara di sepanjang
pagar yang terpencar. Apa kabarmu sekarang di sana, Kekasih? Barangkali kamu akan
pulang seminggu lagi ke rumah, ke desa kita—iya, batu besar di tubir laut yang
pernah kita jumpai kini sudah tak ada, katanya tertelan dihantam ombak.
Ada banyak yang akan diceritakan oleh
keluargamu jika kamu pulang ke rumah. Begitu pun dengan teman sebayamu dan
orang-orang terdekatmu, mereka semua sudah menyiapkan kerinduan yang amat
panjang—mungkin dapat dianalogikan dengan panjangnya sebuah lautan atau pohon
cemara jika tak ditebang-tebang. Kepulanganmu ke desa sungguh akan membuat aku
lega dan merasa kerinduan kembali ke asal mula di dada mereka.
Ini nyaris beberapa kali kamu tunda untuk
pulang ke desa, bahkan (ini sangat tidak mungkin kalau orang-orang desa tak
mengabarkan keadaanku kepadamu) untuk mendatangiku saja itu amat rumit rasanya.
Laili, pertengahan bulan depan akan ada acara hadrah dari anak-anak desa.
Pernahkah tebersit keinginan dari kepalamu untuk melihat Ipung membawakan lagu Habibi
di panggung? Di lenganmu mungkin akan merasakan sebuah kenangan menjalar serupa
darah, dan kamu ingat aku yang tak bisa-bisa membawakan lagu Habibi
dengan suara indah.
“Andai Ipung dewasa, sudah kupacari dia.
Hahaha. Biar kamu cemburu, Sayang.” Mungkin kamu akan meledekku begitu dengan
gurauan. Tapi aku tetap cemburu Laili; bukankah matamu terlebih dulu berdialog
denganku, bahwa sesungguhnya aku tak ada mendampingimu.
Satu lagi sebenarnya yang tidak bisa kamu
lewatkan selain maraknya hiburan di desa kita; di Jl. Perkutut Gg. Silaut RT.
04 RW. 33 terdapat perubahan yang tak disengaja. Di sekitar jalan itu banyak gundukan
tanah yang di dalamnya terdapat orang-orang dimakan celurit. Mungkin kamu sukar
percaya, tapi celurit mereka sendiri benar-benar telah melibas tubuh sendiri. Menolehlah
ketika kamu pulang ke desa, menolehlah ke samping jalan beraspal itu,
barangkali kamu akan menemukan sesuatu yang merindukanmu di sana. Dan rasakan,
bila ada aliran darah di lenganmu yang deras, jangan menoleh ke bagian
belakang. Atau jika kamu berjalan ke depan jangan sampai kamu membalikkan
badan.
/2/
“Si Laili kok tidak pulang-pulang ya?” ini
adalah pertanyaan Isti, istri tengkulak ikan bernama Ngar, kebetulan sepulang
dari pantai memborong ikan dia berpapasan dengan ibumu di depan pagar rumahmu.
“Tiap kali mengunjunginya, dia hanya
titip pesan untuk kerabat di rumah. Dan ketika di suruh pulang, dia menolak. Tidak
mengerti dengan anak bungsuku itu,” kata ibumu.
“Suruh pulang dulu,” tukas Isti. “Laili
tidak tahu kan kalau Erna, Hasanah dan Anisa sudah kawin? Kasihan, siapa tahu
dia malu kepingin kawin.” Isti menambah.
Apa yang diucapkan Isti itu ada
maksudnya. Laili, simak baik-baik kalimatku; malamnya, aku tahu ada yang datang
ke rumahmu perihal perjodohan antara kamu dengan anak lelakinya Isti.
“Waid itu orangnya baik, pinter lagi. Rumahnya
dekat masjid, Li.”
“Dengan cara rumahnya dekat masjid, dia
bisa membahagiakan aku, Ibu?” matamu sendu kala itu.
“Anaknya tengkulak lagi. Waid adalah
satu-satunya anak Ngar dan Isti. Berarti Waid akan jadi tengkulak yang sukses.”
“Lalu apa yang kamu tunggu?”
“Ibu jangan terlalu memaksa.”
“Anisa, Hasanah, Azizah, dan Erna sudah kawin!
Tinggal kamu, Nak. Apa tidak pilu ibu mendengar anak-anak tetangga bahagia?”
“Laili masih belum bisa melupakan Imam,
Ibu.” Mata kamu kuyu ketika setundun air mata ruah dari matamu.
“Kamu memang tidak bisa melupakan Imam,
Nak. Kamu hanya bisa melatih pikiran untuk berhenti mengingatnya.”
Kamu terdiam seperti dibungkam kalimat
buntu. Siang itu, ibumu mengunjungimu ke pondok. Ia bersikukuh dengan cara membujukmu
agar menerima lamaran Waid. Kepalamu sebatas menunduk.
/3/
Suatu saat, terjadi percekcokan antara
ayahku dengan ayahmu. Ceritanya begini; ayahku ikut melaut bersama ayahmu,
tahu-tahunya ayahmu berangkat duluan bersama rekan yang lain karena ayahku
belum juga datang sampai adzan subuh berkumandang di masjid waktu itu.
Ayahku merasa dilecehkan. Terjadilah
antara ayahku dan ayahmu sebuah perseteruan.
“Aku tahu Imam sudah meninggal, dan itu
bukan berarti adik memutuskan hubungan Imam dengan cara yang tidak sopan. Adik
pikir aku tidak bisa menyelesaikan pembubaran pertunangan Imam dengan Laili dengan cara selamatan?” kata ayahku
mematangkan suara.
“Cukup jangan teruskan ambisimu itu. Sama
sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kematian Imam, apalagi pertunangannya Imam
dengan Laili. Ini salah paham saja karena kakak tidak ditunggu sewaktu ingin
berangkat melaut,” sanggah ayahmu tak kalah matang.
“Ah, mencari alasan. Bilang saja adik
ingin menerima Waid sebagai besanmu. Bangkai kau!” sergah ayah. Ia naik pitam.
Ini kali, celurit yang diwariskan kakek diolok-olok
senjata makan tuan. Celurit ayah yang diamukkan ke arah ayahmu lebih dulu
ditepis oleh celurit ayahmu sehingga terpentallah celurit ayah ke tubuhnya
sendiri. Ayah tak kuat bangkit. Dan yang terjadi adalah…. Ah, mengerikan! Ayah terkapar.
Luka di perutnya menyemburkan darah yang banyak. Orang-orang yang melihat
kejadian itu diam. Diam. Ayah dalam posisi telungkup tak berdaya. Napasnya
sudah tiada sebelum orang-orang datang.
Siang garang di pesisir. Siang garing
dengan aroma laut mengirim bau amis dari perut yang bocor. Tak henti-henti dan
tak ada tanda-tanda darah dari perut ayah berhenti mengucur. Laili, ini kematian
terjadi lagi dalam kehidupan ibuku. Ayah menyusulku sebelum genap 40 hari kematian
anaknya. Angin laut mengirimkan kematian ke pelosok desa, ke rumahku, ke
masjid-masjid yang mengumandangkan. Setelah diketahui ayah meninggal,
orang-orang melarikan ayah ke rumah. Malamnya orang-orang berkabung. Ayahmu lenyap
bagai hilang begitu saja.
/4/
Semoga ini tidak hanya sekadar kabar ke
kabar. Hari ini kamu akan pulang. Jum’at Pahing persis weton shinta kamu datang
ke desa setelah mendengar sebuah kematian (sebenarnya kematian kapan saja
terjadi, tapi tidak mungkin tiap sepekan sekali kalau bukan lantaran celurit!).
Mula-mula kamu menampakkan wajah ceria dengan penuh cerita setiba di rumahmu.
Berlangsung sebelum tujuh hari kematian ayah, pernikahanmu dengan Waid selesai.
Selaksa mendung pun dipindahkan oleh malaikat dari tubir langit ke matamu. Ah!
Ternyata, dulu ayahmu tidak menerima Waid sekadar pura-pura karena ayahmu tidak
enak hati dengan ayah. Dan setelah semuanya berakhir, lihatlah, Laili, ayahmu
bertepuk tangan merayakan kemenangan.
Aku sudah lama mengubur jasadku ini tapi
aku tidak pernah mengubur cintaku padamu, Laili. Aku sudah tiada dalam
kehidupan orang lain, barangkali juga dalam kehidupan kamu. Tapi aku masih ada
ketika kamu tidak melihatku. Sebenarnya aku
ada; tidak pernah pergi. Kata orang, yang mati itu pergi. Nyatanya aku tahu
kamu datang ke kuburanku ketika ayahmu berangkat melaut ke Sepudi. Sementara
Waid tak kan pernah tahu kalau kamu ke sini. Sebab, suamimu tak kan bangun
sebelum cahaya matahari menyergap jendela kamar rumahmu.
/5/
Perempuan itu adalah kamu yang melangkah subtil
sambil membawa bunga dan doa. Kali ini tidak ada lagi pembicaraan mengenai kamu
yang tak pulang-pulang ke desa, aku juga tidak memanggil namamu untuk hadir ke
desa ini. Kamu yang berjalan menyangkut serakan daun-daun di pematang kuburan,
kamu telah pulang ke rumah yang sebenarnya, kepada orang yang mencintaimu
sampai mati. Di sini, Laili, kamu tancap sebatang kamboja di pusara kuburku
seperti ujung celurit yang merobek perutku kala itu.
Gedung kuning,
10 Mei-24 Desember 2012
Rabu, 04 Desember 2013
ANDIR (Analisis diri) “mengawal seorang mahasiswa sebagai pelajar dan aktivis”
Mahasiswa merupakan sosok yang sangat istimewa ketika bersama dosen di ruang kelas begitu juga dengan kerjanya mereka dalam memperjuangkan bangsa maju kedepan. Rasanya tiada harapan baginya jika mereka hanya berada dalam satu sisi, sebab mahasiswa adalah orang yang mempunyai tanggung jawab dalam suatu bangsa. Lantas yang menjadi pertanyaan saat ini, bagaimana bisa mereka berposisi sebagai pelajar dan lain sisi sebagai aktivis.
Saat ini saya sebagai mahasiswa akan menjawab dari permasalahan tersebut, bahwa seorang pelajar bukanlah orang yang hanya mementingkan hak dirinya dalam belajar namun baginya juga bisa menjadi aktivis. Artinya, mahasiswa mempunyai hak kebebasan dalam melakukan suatu hal, baik menjadi seorang palajar ataupun menjadi aktivis. Sejatinya, mahasiswa yaitu orang yang selalu memperhatikan bangsa, bukan membrontak menghancurkannya.
Lantas, tidak salah kemudian jika saya katakana “mahasiswa adalah orang yang mempunyai hak untuk mengawal bangsa kedepan”. Maka dengan bentuk berorganisasi-lah adalah salah satu cara agar misi yang kita ciptakan akan segera terbentuk mengawal bangsa yang sudah berantakan dan ironisnya banyak dari kalangan mereka mengatakan bahwa mahasiswa saat ini bukan-lah pejuang akan tetapi hanya mondar-mandir, barat ketimur ikut arus seakan tak ada kepedulian terhadap bangsa.
Jadi, kami (mahasiswa) mengajak para mahasiswa yang lain dapat berpatisipasi untuk mengawal bangsa kedepan lebih baik, yang kemudian tidak terdengar lagi kata “pemberontak” dihadapan kita. Semoga bisa*
Rabu, 27 November 2013
KEGAGALAN BIDIKMISI DI KAMPUS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Bidikmisi merupakan suatu wadah untuk pengembangan pendidikan yang ada di dunia. oleh sebab itu sangatlah penting kiranya bagi para pengampuh bidikmisi untuk memberikan dananya kepada mereka (mahasiswa) yang dianggap berhak mendapatkan. Jadi secara garis besar bidikmisi adalah alat bagaimana kita (anak bangsa) bisa melanjutkan study dengan syarat harus ada yang membantu.
Namun kenyataannya bidikmisi yang saya lihat di kampus kita ada kalanya kita katakan sudah menyalahi aturan yang ada diatasnya. Kemudian sangat ironis sekali jika mereka (mahasiswa) dibiarkan begitu saja, karena kebanyakan yang saya temui dari mereka masuk di kampus tanpa ada bekal sedikitpun dari orang tuanya.
Langganan:
Komentar (Atom)