Selasa, 13 Januari 2015

DARI SUSAH MENUJU BAHAGIA

“memang benar darah itu milikku”


Kalimat ini merupakan analogi yang mengawali kisahku dalam perjalanan hidup menuju bahagia. Saya mulai kisah ini dari sebelum menduduki bangku kuliah artinya ketika saya masih di jenjang MA, dimana pada waktu itu seorang saya banyak membayangkan kekhawatiran dan kegagalan untuk melanjutkan study yang lebih lanjut.


Kelas 3 MA adalah bangku duduk saya yang terakhir, yang seharusnya lepas dari bangku tersebut sudah mempersiapkan jenjang yang lebih tinggi, namun apa nyatanya tiada lain kendala dan banyak pertimbangan yang harus saya pikirkan matang-matang. Lanjut kemudian menjelang hari-hari UAN (Ujian Akhir Nasional) ada pemberitahuan dari bidang kemahasiswaan di sekolah bahwa khusus siswa kelas 3 yang berminat untuk melanjutkan studynya atau mau lanjut ke bangku kuliah harap menemuinya untuk segera didata sebagai peserta Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Ada banak pilihan kampus yang saya ikuti, di antaranya adalah UGM, UI dan UB.


Setelah SK pengumuman dikeluarkan oleh tim panitia SNMPTN, ternyata siswa yang bernama Ahmad Romli tidak ada dan akhirnya kembali lagi rasa kekhawatiran dan bimbang yang selalu menghantui pikiranku. Sehingga pada beberapa hari ada salah satu teman yang memberi tahu kalau sebenarnya masih ada 2 seleksi lagi untuk dapat masuk atau dapat mengikuti seleksi tersebut, maka tanpa basa basi dengan kemauan saya sendiri, keinginan yang kuat untuk dapat menduduki bangku kuliah itu pun saya ikuti semuanya akan tetapi singkat cerita kedua-duanya tidak ada yang menyatakan saya di terima pada perguruan tinggi yang saya pilih itu.


Kegagala, kekhawatiran, kekesalan dan kesusahan yang ke tiga saya terima dan saya rasakan betapa sulitnya hidup bahagia apalagi sempurna. Namun terlepas dari semua itu saya hanya sanagt merasa bahwa Tuhan tidak akan membiarkan makhluknya tersika begitu saja sedangkan ia masih bersungguh-sungguh terus berusaha mendapatkan apa yang mereka inginkan dalam ranah thalabu al-‘ilmi. Sebab sudah kita ketahui bersama, Allah melihat makhluknya dari usahanya bukan hasilnya.


Menjelang beberapa hari dari kelulusan saya sebagai alumni MA Tahfidh Annuqayah dengan penuh hati ynag tenang, sabar, santai, tanpa putus asa saya terus menggapai impian ini. Langkah terakhir yang saya pilih yaitu meminta izin kepada orang tua dan seluruh keluarga yanglain beserta do’a restunya dalam rangka saya harus tetap pergi untuk niatan mencari ilmu Allah, tepatnya di Yogyakarta.


Disini lain kenapa saya harus pergi hanya sebatas do’a dari mereka? Selain saya dibilang dari keturunan keluarga yang kurang mampu sekaligus sebagai anak yang ditinggal bapak nya mulai sejak kecil, sampai sekarang pun wajah dari belisu belum saya tahu. Ini sebabnya, saya optimis mengambil jalan untuk nekat, pergi dari keluarga, memberanikan diri menjauh dari mereka bukan lantas tidak peduli pada mereka ataupun sudah tidak sayang lagi akan tetapi terlepas dari semua itu ingin kembali dan membalas hutang budi selama berada bersamanya dan pada hari nanti kepulanganku  akan memeberikan senyum manis kepada mereka.


Al-hamdulillah kepergianku ke tempat yang saya tuju ada banyak kabar mengenai hal yang saya inginkan itu, setelah beberapa kali saya bercerita pada teman-teman saya di yogyakarta tentang kepergian itu dan pada saat itu pula salah satu dari mereka mengantarkan saya ke ketua SENAT UIN SUKA, dan pada akhirnya di kasi tahu cara mendaftarkan masuk kuliah di kampus yang sama dengannya. Nama jalur itu ”reguler” yang kata teman memang tak asing nama itu di linkungan kita cuma mungkin karena saya benar-benar kekurangan informasi sehingga tidak tahu jalur tersebut.


Maka kemudian, disini sangat saya rasakan dan saya dapatkan kebahagian yang tiada sempurna dari orang yang menikah. Yang membuat saya bahagia yaitu keterimanya saya sebagai mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus tercatat sebagai calon penerima beasiswa bidikmisi angkatan 2013. Pada akhirnya setelah lama saya menunggu hasil seleksi beasiswa bidikmisi itu, ternyata atas izin dan kehendak Allah SWT saya pun lolos dari tantangan yang sangat berat itu, toh walaupun saya hanya orang biasa yang jika di bandingkan dengan yang lain masih jauh di bawah rata-rata. Mungkin ini merupakan rahmat bagi saya sebab perjuangan yang saya lakukan tidak sia-sia, seperti yang telah saya utarakan di atas, ini adalah pemberian Allah yang Maha Agung. Sungguh ngerasa kalau yang diberikan sementara di awal hanya berupa ujian bagi kita, yang sebaiknya kita harus sadari itu semua.


Jadi harapan penulis, jangan pernah merasa dan memikirkan tentang kesenangan, kesuksesan dan alain sebagainya akan didapatkan dengan mudah begitupun sebaliknya, jangan pernah merasa rugi atas kegagalan, kekhawatiran, kesedihan dan lain-lain. Sebab itu semua hanya ada pada sang pencipta langit dan bumi beserta isinya, dengan proses maka semuanya akan tercapai dengan baik karena Allah SWT melihat makhluknya bukan dari hasilnya melainkan usaha dan do’anya. Proses, proses, proses...


Wallahu a’lam bi al-shawab, semoga bermanfaat. Amiennn**

 

                                 jogja, 15 desember 2014

GERAKAN SEBUAH PROSES

Berbicara masalah “gerakan” ada beberapa aspek yang dapat saya pahami. Kata “gerak” disini melalui kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti peralihan dari satu tempat ke tempat yang lain baik hanya sekali maupun berkali-kali. Dari perspektif yang lain memaknai “gerak” adalah sebuah tekanan atau adanya magnat dari tempat lain sehingga mampu pindah dari tempat asal. Namun dalam ilmu filsafat “gerak” diartikan sebagai suatu perubahab, dengan demikian Mulla sadra menegaskan “gerak” dapat berubah jika memenuhi 2 syarat berikut: pertama, perubahan itu tidak boleh tiba-tiba tetapi harus gradual, juga perubahan itu harus mempunyai ekstensi temporal walaupun hanya sesaat saja. Kedua, perubahan itu harus mempunyai ekstensi yang dapat dibagi secara tak terbatas, bukan kumpulan atom-atom yang tidak dapat dibagi.

 

“Gerak” kemudian bisa di lakukan secara spontan dan juga pelan-pelan, yang dalam orientasinya kebanyakan terjadi gerakan tersebut di aplikasikan dalam bentuk organisasi, yang layaknya lebih episien ketika memutuskan suatu perkara atau masalah. Gerakan yang kita maksud tepatnya lebih pada sebuah kelompok atau organisasi, bagaimana kemudian hal tersebut bisa di laksanakan dengan baik  maka tentunya ada beberapa hal juga yang harus kita perhatikan sebab hal ini di batasi oleh kemampuan jiwa kita sebagai khalifah fi al-ardhi. Istilah lainnya seorang yang mempunyai tanggung jawab atas rakyat, masyarakat, anggota nya seyogyanya juga bisa bertanggung jawab pada yang lainnya, namun perlu juga di garis bawahi tidak semudah itu kita sewanang-wenag kemudian akan menguasai atas semuanya.

Artinya ketika kita masuk dalam sebuah pergerakan, disitu kita akan berproses bagaimana hidup yang sesungguhnya sebagaimana saya jelaskan di atas. Pengemban suatu amanah memang berat, tapi jika hal tersebut kita lestarikan atau kita niatkan bukan untuk tanggung jawab atau sedang mengemban amanah maka ada kemungkinan jauh kita rasakan sebuah kesengsaraan, kesulitan, dan lain-lain.

 

Memang ada kalanya gerakan, kita kira semudah yang kita bayangkan akan tetapi hal tersebut jauh berbeda dengan hanya sekedar perkiraan. Sebab melihat profesi dari setiap jiwa tidak semuanya masuk dalam satu kelompok dan tentunya hal itu bisa di maklumi kalau setiap orang akan bergerak dimana ia mau. Jika proses yang mereka benar-benar lihat maka tidak akan ada yang namanya kesenjangan di antara mereka, karena ranah dari setiap individu akan berbeda ketika berjauhan, dan ini akan terbukti bilamana kita mengaplikasikannya. Semoga bermanfaat, amien**

                             jogja, 13 januari 2015 m

Sabtu, 16 Agustus 2014

MENULIS PERSPEKTIF FILSAFAT



Berfikir, maka aku ada. Ini adalah ungkapan sederhana yang ada pada system filsafat sendiri. Adapun definisi menulis adalah suatu hal pokok yang seharusnya dimiliki oleh seseorang khususnya mereka mahasiswa, sebab dibandingkan dibidang keilmuannya lebih mewadahi dari yang lainnya, disisi lain mahasiswa yaitu seorang mencari pengetahuan yang selebihnya bisa membagi pengalamannya ataupun ilmu-ilmu yang mereka dapatkan kepada sesama yang lainnya.
Hubungan antara menulis dan filsafat sangat erat, yang mana filsafat mengajarkan kita untuk selalu berfikir yang kemudian hasil dari pemikiran tersebut dituangkan dalam bentuk tulisan. Maka dari itu, kita sebagai mahasiswa berkawajiban untuk membagi pengalaman ilmu itu terhadap orang lain baik melalui media massa ataupun blog. Akan tetapi jika kita mengarah pada eksistensi kita sebagai mahasiswa hendaknya dalam membagi suatu pengetahuan tersebut tidak akan peduli terhadap yang namanya ongkos, penghargaan dan lain-lain.
Namun kemudian jika hal yang seperti itu akan terjadi, maka yang terpenting dalam menjalani hidup yaitu mengerti akan satu dan yang lainnya, artinya kita sebagai mahasiswa/penuntut ilmu memberikan ilmu itu dengan ikhlas tanpa mengharap imbalan ataupun survries dari orang lain.
Sebagaimana kita tahu menulis dengan tujuan memberi/berbagi pengalaman untuk meningkatkan kualitas pengetahuan yang ada di muka bumi ini. Jadi secara otomatis hal yang demikian tidak hanya terfokus dimiliki oleh seorang mahasiswa, akan tetapi kita sebagai makhluk Allah juga berkewajiban untuk mencari dan memikirkan semua ilmu-ilmu-Nya yang kemudian juga menjadi kewajiban untuk mengamalkannya. Semoga bisa*

Kamis, 03 Juli 2014

Celurit itu Seharusnya Bukan Milikku

Cerpen Mawaidi D. Mas

/1/
Sudah 5 tahun, Laili. Kamu tak menginjakkan kaki di tanahmu yang putih, di desamu yang hijau, di halaman rumahmu yang ditumbuhi bunga-bunga dandelion dan pohon cemara di sepanjang pagar yang terpencar. Apa kabarmu sekarang di sana, Kekasih? Barangkali kamu akan pulang seminggu lagi ke rumah, ke desa kita—iya, batu besar di tubir laut yang pernah kita jumpai kini sudah tak ada, katanya tertelan dihantam ombak.
Ada banyak yang akan diceritakan oleh keluargamu jika kamu pulang ke rumah. Begitu pun dengan teman sebayamu dan orang-orang terdekatmu, mereka semua sudah menyiapkan kerinduan yang amat panjang—mungkin dapat dianalogikan dengan panjangnya sebuah lautan atau pohon cemara jika tak ditebang-tebang. Kepulanganmu ke desa sungguh akan membuat aku lega dan merasa kerinduan kembali ke asal mula di dada mereka.
Ini nyaris beberapa kali kamu tunda untuk pulang ke desa, bahkan (ini sangat tidak mungkin kalau orang-orang desa tak mengabarkan keadaanku kepadamu) untuk mendatangiku saja itu amat rumit rasanya. Laili, pertengahan bulan depan akan ada acara hadrah dari anak-anak desa. Pernahkah tebersit keinginan dari kepalamu untuk melihat Ipung membawakan lagu Habibi di panggung? Di lenganmu mungkin akan merasakan sebuah kenangan menjalar serupa darah, dan kamu ingat aku yang tak bisa-bisa membawakan lagu Habibi dengan suara indah.
“Andai Ipung dewasa, sudah kupacari dia. Hahaha. Biar kamu cemburu, Sayang.” Mungkin kamu akan meledekku begitu dengan gurauan. Tapi aku tetap cemburu Laili; bukankah matamu terlebih dulu berdialog denganku, bahwa sesungguhnya aku tak ada mendampingimu.
Satu lagi sebenarnya yang tidak bisa kamu lewatkan selain maraknya hiburan di desa kita; di Jl. Perkutut Gg. Silaut RT. 04 RW. 33 terdapat perubahan yang tak disengaja. Di sekitar jalan itu banyak gundukan tanah yang di dalamnya terdapat orang-orang dimakan celurit. Mungkin kamu sukar percaya, tapi celurit mereka sendiri benar-benar telah melibas tubuh sendiri. Menolehlah ketika kamu pulang ke desa, menolehlah ke samping jalan beraspal itu, barangkali kamu akan menemukan sesuatu yang merindukanmu di sana. Dan rasakan, bila ada aliran darah di lenganmu yang deras, jangan menoleh ke bagian belakang. Atau jika kamu berjalan ke depan jangan sampai kamu membalikkan badan.
/2/
“Si Laili kok tidak pulang-pulang ya?” ini adalah pertanyaan Isti, istri tengkulak ikan bernama Ngar, kebetulan sepulang dari pantai memborong ikan dia berpapasan dengan ibumu di depan pagar rumahmu.
“Tiap kali mengunjunginya, dia hanya titip pesan untuk kerabat di rumah. Dan ketika di suruh pulang, dia menolak. Tidak mengerti dengan anak bungsuku itu,” kata ibumu.
“Suruh pulang dulu,” tukas Isti. “Laili tidak tahu kan kalau Erna, Hasanah dan Anisa sudah kawin? Kasihan, siapa tahu dia malu kepingin kawin.” Isti menambah.
Apa yang diucapkan Isti itu ada maksudnya. Laili, simak baik-baik kalimatku; malamnya, aku tahu ada yang datang ke rumahmu perihal perjodohan antara kamu dengan anak lelakinya Isti.
“Waid itu orangnya baik, pinter lagi. Rumahnya dekat masjid, Li.”
“Dengan cara rumahnya dekat masjid, dia bisa membahagiakan aku, Ibu?” matamu sendu kala itu.
“Anaknya tengkulak lagi. Waid adalah satu-satunya anak Ngar dan Isti. Berarti Waid akan jadi tengkulak yang sukses.”
“Lalu apa yang kamu tunggu?”
“Ibu jangan terlalu memaksa.”
“Anisa, Hasanah, Azizah, dan Erna sudah kawin! Tinggal kamu, Nak. Apa tidak pilu ibu mendengar anak-anak tetangga bahagia?”
“Laili masih belum bisa melupakan Imam, Ibu.” Mata kamu kuyu ketika setundun air mata ruah dari matamu.
“Kamu memang tidak bisa melupakan Imam, Nak. Kamu hanya bisa melatih pikiran untuk berhenti mengingatnya.”
Kamu terdiam seperti dibungkam kalimat buntu. Siang itu, ibumu mengunjungimu ke pondok. Ia bersikukuh dengan cara membujukmu agar menerima lamaran Waid. Kepalamu sebatas menunduk.
/3/
Suatu saat, terjadi percekcokan antara ayahku dengan ayahmu. Ceritanya begini; ayahku ikut melaut bersama ayahmu, tahu-tahunya ayahmu berangkat duluan bersama rekan yang lain karena ayahku belum juga datang sampai adzan subuh berkumandang di masjid waktu itu.
Ayahku merasa dilecehkan. Terjadilah antara ayahku dan ayahmu sebuah perseteruan.
“Aku tahu Imam sudah meninggal, dan itu bukan berarti adik memutuskan hubungan Imam dengan cara yang tidak sopan. Adik pikir aku tidak bisa menyelesaikan pembubaran pertunangan Imam dengan Laili  dengan cara selamatan?” kata ayahku mematangkan suara.
“Cukup jangan teruskan ambisimu itu. Sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kematian Imam, apalagi pertunangannya Imam dengan Laili. Ini salah paham saja karena kakak tidak ditunggu sewaktu ingin berangkat melaut,” sanggah ayahmu tak kalah matang.
“Ah, mencari alasan. Bilang saja adik ingin menerima Waid sebagai besanmu. Bangkai kau!” sergah ayah. Ia naik pitam.
Ini kali, celurit yang diwariskan kakek diolok-olok senjata makan tuan. Celurit ayah yang diamukkan ke arah ayahmu lebih dulu ditepis oleh celurit ayahmu sehingga terpentallah celurit ayah ke tubuhnya sendiri. Ayah tak kuat bangkit. Dan yang terjadi adalah…. Ah, mengerikan! Ayah terkapar. Luka di perutnya menyemburkan darah yang banyak. Orang-orang yang melihat kejadian itu diam. Diam. Ayah dalam posisi telungkup tak berdaya. Napasnya sudah tiada sebelum orang-orang datang.
Siang garang di pesisir. Siang garing dengan aroma laut mengirim bau amis dari perut yang bocor. Tak henti-henti dan tak ada tanda-tanda darah dari perut ayah berhenti mengucur. Laili, ini kematian terjadi lagi dalam kehidupan ibuku. Ayah menyusulku sebelum genap 40 hari kematian anaknya. Angin laut mengirimkan kematian ke pelosok desa, ke rumahku, ke masjid-masjid yang mengumandangkan. Setelah diketahui ayah meninggal, orang-orang melarikan ayah ke rumah. Malamnya orang-orang berkabung. Ayahmu lenyap bagai hilang begitu saja.
/4/
Semoga ini tidak hanya sekadar kabar ke kabar. Hari ini kamu akan pulang. Jum’at Pahing persis weton shinta kamu datang ke desa setelah mendengar sebuah kematian (sebenarnya kematian kapan saja terjadi, tapi tidak mungkin tiap sepekan sekali kalau bukan lantaran celurit!). Mula-mula kamu menampakkan wajah ceria dengan penuh cerita setiba di rumahmu. Berlangsung sebelum tujuh hari kematian ayah, pernikahanmu dengan Waid selesai. Selaksa mendung pun dipindahkan oleh malaikat dari tubir langit ke matamu. Ah! Ternyata, dulu ayahmu tidak menerima Waid sekadar pura-pura karena ayahmu tidak enak hati dengan ayah. Dan setelah semuanya berakhir, lihatlah, Laili, ayahmu bertepuk tangan merayakan kemenangan.
Aku sudah lama mengubur jasadku ini tapi aku tidak pernah mengubur cintaku padamu, Laili. Aku sudah tiada dalam kehidupan orang lain, barangkali juga dalam kehidupan kamu. Tapi aku masih ada ketika kamu tidak melihatku.  Sebenarnya aku ada; tidak pernah pergi. Kata orang, yang mati itu pergi. Nyatanya aku tahu kamu datang ke kuburanku ketika ayahmu berangkat melaut ke Sepudi. Sementara Waid tak kan pernah tahu kalau kamu ke sini. Sebab, suamimu tak kan bangun sebelum cahaya matahari menyergap jendela kamar rumahmu.
/5/
Perempuan itu adalah kamu yang melangkah subtil sambil membawa bunga dan doa. Kali ini tidak ada lagi pembicaraan mengenai kamu yang tak pulang-pulang ke desa, aku juga tidak memanggil namamu untuk hadir ke desa ini. Kamu yang berjalan menyangkut serakan daun-daun di pematang kuburan, kamu telah pulang ke rumah yang sebenarnya, kepada orang yang mencintaimu sampai mati. Di sini, Laili, kamu tancap sebatang kamboja di pusara kuburku seperti ujung celurit yang merobek perutku kala itu.
Gedung kuning, 10 Mei-24 Desember 2012


Rabu, 04 Desember 2013

ANDIR (Analisis diri) “mengawal seorang mahasiswa sebagai pelajar dan aktivis”

Mahasiswa merupakan sosok yang sangat istimewa ketika bersama dosen di ruang kelas begitu juga dengan kerjanya mereka dalam memperjuangkan bangsa maju kedepan. Rasanya tiada harapan baginya jika mereka hanya berada dalam satu sisi, sebab mahasiswa adalah orang yang mempunyai tanggung jawab dalam suatu bangsa. Lantas yang menjadi pertanyaan saat ini, bagaimana bisa mereka berposisi sebagai pelajar dan lain sisi sebagai aktivis.

Saat ini saya sebagai mahasiswa akan menjawab dari permasalahan tersebut, bahwa seorang pelajar bukanlah orang yang hanya mementingkan hak dirinya dalam belajar namun baginya juga bisa menjadi aktivis. Artinya, mahasiswa mempunyai hak kebebasan dalam melakukan suatu hal, baik menjadi seorang palajar ataupun menjadi aktivis. Sejatinya, mahasiswa yaitu orang yang selalu memperhatikan bangsa, bukan membrontak menghancurkannya.

Lantas, tidak salah kemudian jika saya katakana “mahasiswa adalah orang yang mempunyai hak untuk mengawal bangsa kedepan”. Maka dengan bentuk berorganisasi-lah adalah salah satu cara agar misi yang kita ciptakan akan segera terbentuk mengawal bangsa yang sudah berantakan dan ironisnya banyak dari kalangan mereka mengatakan bahwa mahasiswa saat ini bukan-lah pejuang akan tetapi hanya mondar-mandir, barat ketimur ikut arus seakan tak ada kepedulian terhadap bangsa.

Jadi, kami (mahasiswa) mengajak para mahasiswa yang lain dapat berpatisipasi untuk mengawal bangsa kedepan lebih baik, yang kemudian tidak terdengar lagi kata “pemberontak” dihadapan kita. Semoga bisa*

Rabu, 27 November 2013

KEGAGALAN BIDIKMISI DI KAMPUS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

Bidikmisi merupakan suatu wadah untuk pengembangan pendidikan yang ada di dunia. oleh sebab itu sangatlah penting kiranya bagi para pengampuh bidikmisi untuk memberikan dananya kepada mereka (mahasiswa) yang dianggap berhak mendapatkan. Jadi secara garis besar bidikmisi adalah alat bagaimana kita (anak bangsa) bisa melanjutkan study dengan syarat harus ada yang membantu.

Namun kenyataannya bidikmisi yang saya lihat di kampus kita ada kalanya kita katakan sudah menyalahi aturan yang ada diatasnya. Kemudian sangat ironis sekali jika mereka (mahasiswa) dibiarkan begitu saja, karena kebanyakan yang saya temui dari mereka masuk di kampus tanpa ada bekal sedikitpun dari orang tuanya.